Matahari bersinar cerah dan menyilaukan pandangan sehingga nyata terlihat bola mata Vincent yang berwarna abu-abu itu seolah tersamarkan. Pemuda itu seakan tak bergerak dalam duduknya karena teriknya siang yang menyengat, sambil menerawang jauh, mengingat dan membayangkan kota demi kota yang telah dilewatinya untuk sampai di Venezia, Sungguh sebuah perjalanan melelahkan melepuhkan telapak kaki. Tak ada desiran angin yang meniup dan berhembus didekatnya, tak ada lambaian daun-daun dan pohon-pohon besar yang ditanami sejajar di sepanjang gang kecil itu. Sehingga tak ada penghalang sinar matahari yang langsung menusuk ke sela pori-pori tangannya.
Sementara itu dikejauhan terlihat puluhan kaki anak-anak beradu, menyentak dan menjegal sebuah bola karet. Bola yang sebentar terhenti disela kaki-kaki kecil itu kadang melambung jauh tanpa terkawal, diselingi sorak dan selebrasi riang setiap salah satu kubu mencetak gol ke gawang lawannya. Kaki-kaki kecil itu tak henti menari menunjukkan gocekan-gocekan maut yang mereka peragakan meniru pemain-pemain bola profesional yang mereka kenal satu persatu seperti Giovanni Ferrari, Virginio Rosetta, atau Umberto Caligaris yang membawa Italia juara Piala Dunia 1934 dan 1938.
Dibalik lapangan kota yang dijadikan arena bermain bola itu, terdapat jalan yang merupakan akses penting lalu lintas yang sangat padat. Jalan yang saat ini di lewati seorang pedagang dengan dua buah keranjang besar berisi penuh tomat di samping kiri dan kanan sebuah sepeda using yang sedang dikayuhnya.
Sampai tiba-tiba bola yang dimainkan anak-anak dilapangan itu melayang menghantam sepeda sang penjual tomat sehingga jatuh dan menumpahkan tomat-tomat dagangannya seperti kelereng yang jatuh dari atas meja makan dan menggelinding saling berbenturan.
Tanpa dikomandoi, Vincent berlari menembus lapangan bola itu menuju kejalan dimana sang penjaja tomat terjatuh beserta tomat-tomat dagangannya. Vincent membantunya berdiri, lalu membalikkan keranjang yang tadinya berisi tomat merah sebesar bola tenis. Lalu vincent mulai memunguti satu per satu buah merah itu yang masih utuh, tak banyak memang yang tersisa, tak sampai tiga perempat keranjang yang benar-benar utuh dan keranjang satunya hanya setengah saja yang berisi buah setengah rusak. Lalu sendiri Vincent membersihkan jalan yang sempat terhenti akibat insiden tersebut dari sisa-sisa jus tomat versi calon pemain sepak bola penghuni klub besar seperti Juventus dan AC Milan itu dengan dahan kayu yang ditemukannya dari tempat sampah tak jauh dari tempat itu. Banyak orang melihat kejadian itu, tak ada yang menggubris dan turun tangan membantu, memang sebuah keanehan kota-kota besar yang juga pernah di temuinya seperti Dublin, London, Frankfurt, Madrid dan Andalusia.
Tak mudah menemukan keramah-tamahan kota-kota besar itu terhadap pendatang baru seperti Vincent pastinya. Tak ada luka serius pada pedagang itu, namun Vincent tetap tak tersenyum dan mengkhawatirkan pedagang itu yang hampir kehilangan setengah tomat dagangannya. Namun tak sedikitpun tampak wajah kecewa dari sang penjual tomat itu, senyum itu memecah kebuntuan antara mereka dan sebagai ucapan terima kasih Vincent di tawari sekantong tomat oleh sang penjaja tomat tersebut, dan ditawari menginap di tempat sang penjual tomat setelah mengetahui Vincent adalah pendatang baru dari Irlandia. Setelah berbicara beberapa saat sang penjaja tomat itu pamit dan melanjutkan perjalanannya karena tawaran untuk menginap di tolak secara halus oleh Vincent yang takut merepotkan orang lain. Berbekal sekantong tomat hasil pemberian pedagang tomat yang ditolongnya tadi, Vincent masih mencoba menahan haus dan lapar sebab belum ada yang masuk dan mengisi perutnya sejak menginjakkan kaki di kota bersejarah venezia itu. Vincent adalah seorang pandai besi yang cukup disegani di daratan inggris raya. Setelah wajib militer yang menyisakan beberapa orang saja dari daerahnya, tak banyak yang dapat di lakukan di tempat tinggalnya yang cukup jauh dari keramaian itu. Mau tidak mau Vincent yang tak memiliki sanak saudara itu memutuskan untuk pergi dan mengadu nasib di tempat lain, dan setelah perjalanan selama hampir dua kali musim panas berakhir Vincent pun sampai di venezia. Kota bersejarah ini menawarkan jutaan daya tarik untuk setiap pendatang baru yang datang berkunjung maupun yang hanya singgah sementara di tempat itu.
Vincent menatap jauh mengamati tiap detail kota Venezia yang juga di kenal dengan nama Venice dengan sesekali melayangkan pandangan jauh kearah pedagang tomat tadi yang sudah hilang dari pandangan matanya. Sebuah peradaban yang indah dari kota itu, sungai yang airnya jernih seperti kristal itu juga di sibukkan dengan aktivitas penduduknya yang menggunakan perahu untuk perdagangan serta yang hendak bepergian ketempat lain. Sementara di sepanjang pinggiran sungai di gunakan untuk mencuci dan mandi, anak-anak riang berkejar-kejaran berenang disungai yang cukup besar itu. Jembatan-jembatan melengkung dari susunan batu bata membelah sungai menjadi beberapa bagian sebagai penghubung kota yang terbelah sungai besar yang di sebut Canale Grande itu. Terlalu besar harapan pemuda itu untuk dapat meneruskan hidupnya sejak melangkahkan kaki-kaki nya menjauhi pedalaman Irlandia yang tak sekalipun dia tinggalkan selain wajib militer yang membawanya jauh ke negeri tropis Vietnam. Banyak pelajaran yang Ia dapatkan dari perang yang memakan ribuan bahkan jutaan orang tersebut, menelan biaya yang tak sedikit, menyisakan isak tangis mereka yang kehilangan anak dan suami, serta kerugian-kerugian yang ditimbulkan hanya untuk kepentingan kalangan-kalangan elit saja.
Namun pemikiran Vincent yang tak pernah mengenyam pendidikan formal itu semakin dewasa saja di usia nya yang sudah memasuki 24 tahun. Pemuda itu tak pernah tau kapan tepatnya dia dilahirkan, siapa orang tuanya, dan dimana kampung halamannya, yang pasti Vincent dibesarkan oleh seorang pandai besi tua yang amat disegani di daratan Inggris Raya. William Wallace, begitu pandai besi tua itu dipanggil orang-orang yang di temui Vincent. Will adalah seorang berperawakan tinggi besar, berjenggot putih senada dengan rambutnya yang berkilau perak menandakan usianya yang memang tak muda lagi, will yang selalu mengenakan jubah panjang yang hanya bias mengangguk atau mengelengkan kepalanya ketika berkomunikasi dengan orang lain. Will kehilangan lidahnya saat diketahui sebagai orang terakhir yang menyimpan seluruh rahasia Kerajaan Wales sehingga polemik yang terjadi didalam Kerajaan tak pernah terpecahkan hingga sekarang. Pria itu meninggal akibat kholera yang banyak menelan korban di awal tahun 1938.
Vincent berhenti menerawang jauh, sekantong tomat yang merah berkilat menjadi topik pemikirannya. Harus ia apakan tomat-tomat itu? Harganya mungkin tak seberapa, mengingat perutnya yang semakin lapar saja. Vincent mulai melangkah ke sebuah jenjang menuruni Canale Grande, diraupnya air yang sangat jernih itu dan meminumnya serta mengguyur tubuh kekarnya mencoba mengusir panas matahari yang terasa semakin dekat beberapa jengkal saja di atas kepala. Diperhatikan bayangannya dipermukaan air grande tampak cambang dan kumis tak terawat bergelantungan di dagu pemuda itu, hitam legam warna kulitnya menunjukkan bahwa ia bukan orang yang menjalani hidup dengan bersenang-senang. Sebuah liontin berbentuk botol kecil tergantung di kalung perak sangat kontras dengan warna kulitnya, kalung yang diterima langsung dari tangan Will ketika orang tua itu menghembuskan nafas terakhirnya.
Tanpa dikomandoi, Vincent berlari menembus lapangan bola itu menuju kejalan dimana sang penjaja tomat terjatuh beserta tomat-tomat dagangannya. Vincent membantunya berdiri, lalu membalikkan keranjang yang tadinya berisi tomat merah sebesar bola tenis. Lalu vincent mulai memunguti satu per satu buah merah itu yang masih utuh, tak banyak memang yang tersisa, tak sampai tiga perempat keranjang yang benar-benar utuh dan keranjang satunya hanya setengah saja yang berisi buah setengah rusak. Lalu sendiri Vincent membersihkan jalan yang sempat terhenti akibat insiden tersebut dari sisa-sisa jus tomat versi calon pemain sepak bola penghuni klub besar seperti Juventus dan AC Milan itu dengan dahan kayu yang ditemukannya dari tempat sampah tak jauh dari tempat itu. Banyak orang melihat kejadian itu, tak ada yang menggubris dan turun tangan membantu, memang sebuah keanehan kota-kota besar yang juga pernah di temuinya seperti Dublin, London, Frankfurt, Madrid dan Andalusia.
Tak mudah menemukan keramah-tamahan kota-kota besar itu terhadap pendatang baru seperti Vincent pastinya. Tak ada luka serius pada pedagang itu, namun Vincent tetap tak tersenyum dan mengkhawatirkan pedagang itu yang hampir kehilangan setengah tomat dagangannya. Namun tak sedikitpun tampak wajah kecewa dari sang penjual tomat itu, senyum itu memecah kebuntuan antara mereka dan sebagai ucapan terima kasih Vincent di tawari sekantong tomat oleh sang penjaja tomat tersebut, dan ditawari menginap di tempat sang penjual tomat setelah mengetahui Vincent adalah pendatang baru dari Irlandia. Setelah berbicara beberapa saat sang penjaja tomat itu pamit dan melanjutkan perjalanannya karena tawaran untuk menginap di tolak secara halus oleh Vincent yang takut merepotkan orang lain. Berbekal sekantong tomat hasil pemberian pedagang tomat yang ditolongnya tadi, Vincent masih mencoba menahan haus dan lapar sebab belum ada yang masuk dan mengisi perutnya sejak menginjakkan kaki di kota bersejarah venezia itu. Vincent adalah seorang pandai besi yang cukup disegani di daratan inggris raya. Setelah wajib militer yang menyisakan beberapa orang saja dari daerahnya, tak banyak yang dapat di lakukan di tempat tinggalnya yang cukup jauh dari keramaian itu. Mau tidak mau Vincent yang tak memiliki sanak saudara itu memutuskan untuk pergi dan mengadu nasib di tempat lain, dan setelah perjalanan selama hampir dua kali musim panas berakhir Vincent pun sampai di venezia. Kota bersejarah ini menawarkan jutaan daya tarik untuk setiap pendatang baru yang datang berkunjung maupun yang hanya singgah sementara di tempat itu.
Vincent menatap jauh mengamati tiap detail kota Venezia yang juga di kenal dengan nama Venice dengan sesekali melayangkan pandangan jauh kearah pedagang tomat tadi yang sudah hilang dari pandangan matanya. Sebuah peradaban yang indah dari kota itu, sungai yang airnya jernih seperti kristal itu juga di sibukkan dengan aktivitas penduduknya yang menggunakan perahu untuk perdagangan serta yang hendak bepergian ketempat lain. Sementara di sepanjang pinggiran sungai di gunakan untuk mencuci dan mandi, anak-anak riang berkejar-kejaran berenang disungai yang cukup besar itu. Jembatan-jembatan melengkung dari susunan batu bata membelah sungai menjadi beberapa bagian sebagai penghubung kota yang terbelah sungai besar yang di sebut Canale Grande itu. Terlalu besar harapan pemuda itu untuk dapat meneruskan hidupnya sejak melangkahkan kaki-kaki nya menjauhi pedalaman Irlandia yang tak sekalipun dia tinggalkan selain wajib militer yang membawanya jauh ke negeri tropis Vietnam. Banyak pelajaran yang Ia dapatkan dari perang yang memakan ribuan bahkan jutaan orang tersebut, menelan biaya yang tak sedikit, menyisakan isak tangis mereka yang kehilangan anak dan suami, serta kerugian-kerugian yang ditimbulkan hanya untuk kepentingan kalangan-kalangan elit saja.
Namun pemikiran Vincent yang tak pernah mengenyam pendidikan formal itu semakin dewasa saja di usia nya yang sudah memasuki 24 tahun. Pemuda itu tak pernah tau kapan tepatnya dia dilahirkan, siapa orang tuanya, dan dimana kampung halamannya, yang pasti Vincent dibesarkan oleh seorang pandai besi tua yang amat disegani di daratan Inggris Raya. William Wallace, begitu pandai besi tua itu dipanggil orang-orang yang di temui Vincent. Will adalah seorang berperawakan tinggi besar, berjenggot putih senada dengan rambutnya yang berkilau perak menandakan usianya yang memang tak muda lagi, will yang selalu mengenakan jubah panjang yang hanya bias mengangguk atau mengelengkan kepalanya ketika berkomunikasi dengan orang lain. Will kehilangan lidahnya saat diketahui sebagai orang terakhir yang menyimpan seluruh rahasia Kerajaan Wales sehingga polemik yang terjadi didalam Kerajaan tak pernah terpecahkan hingga sekarang. Pria itu meninggal akibat kholera yang banyak menelan korban di awal tahun 1938.
Vincent berhenti menerawang jauh, sekantong tomat yang merah berkilat menjadi topik pemikirannya. Harus ia apakan tomat-tomat itu? Harganya mungkin tak seberapa, mengingat perutnya yang semakin lapar saja. Vincent mulai melangkah ke sebuah jenjang menuruni Canale Grande, diraupnya air yang sangat jernih itu dan meminumnya serta mengguyur tubuh kekarnya mencoba mengusir panas matahari yang terasa semakin dekat beberapa jengkal saja di atas kepala. Diperhatikan bayangannya dipermukaan air grande tampak cambang dan kumis tak terawat bergelantungan di dagu pemuda itu, hitam legam warna kulitnya menunjukkan bahwa ia bukan orang yang menjalani hidup dengan bersenang-senang. Sebuah liontin berbentuk botol kecil tergantung di kalung perak sangat kontras dengan warna kulitnya, kalung yang diterima langsung dari tangan Will ketika orang tua itu menghembuskan nafas terakhirnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar