Hampir satu minggu Vincent menetap di rumah keluarga Ivana, bersama Elly dan Allyana. Beruntung keluarga kecil itu berkenan mengizinkan Vincent menempati sebuah gudang tua yang terpisah dari bangunan utama. Semula gudang itu digunakan untuk menyimpan alat-alat pertanian dan beberapa buah rongsokan traktor yang dahulunya adalah mesin yang digunakan Aitor, ayah Ivana dalam mengolah lahan pertaniannya.
Sementara itu berbagai profesi telah diperankan Vincent, mulai dari bertukang, berdagang, atau sekedar sebagai membantu mengangkut barang-barang bawaan siapapun yang membutuhkan bantuan tenaganya. Berburu, menangkap ikan dan memetik buah-buahan di hutanpun tak lantas membuatnya lelah.
Siang itu sangat terik, Vincent yang datang membawa sekaleng madu dari hutan berusaha melepaskan penatnya seraya memberikan madu tersebut kepada Ivana. Elly mendatangi Vincent dengan membawa segelas air putih, agaknya gelas dari kayu itu terlalu besar untuk ukuran tangannya yang membuat elly kesusahan dalam berjalan. Vincent segera bangkit dan mengambil air tersebut dari tangan elly. Sambil tersenyum Vincent berkata, “terima kasih tuan putri”. Setelah duduk dan di ikuti Elly yang ikut duduk disebelahnya hanya diam dengan wajah lugunya. “kenapa seluruh tubuhmu basah Vincent?”, tanya Elly yang terus memperhatikan Vincent meneguk air putih tersebut.
Vincent meletakkan gelas kayu tersebut tak jauh dari duduknya dan berkata, “sehabis bekerja keras kau pasti akan berkeringat, bukankah sehabis berlari seluruh tubuhmu akan merasakan panas dan berkeringat? “tapi kan kau laki-laki?”, Elly memang belum mengerti akan hal itu dan terus menanyai Vincent untuk menemukan jawaban yang ingin ditanyakannya tersebut. Vincent pun tersenyum, namun belum sempat ia berujar dari dalam muncul Ivana dengan membawa handuk dan perbekalan mandi dalam sebuah ember kayu. Sambil memberikannya kepada Vincent, Iva mengusap lembut rambut Elly, dan berkata “laki-laki dan perempuan sama saja anak manis, keringat adalah hasil dari pembakaran lemak energi yang terjadi dalam tubuh kita. Nanti kau juga akan mengerti akan banyak hal di sekolahmu”.
Vincent membuka bajunya, baju yang kemaren diberikan Ivana kepadanya adalah milik Aitor yang sudah sangat using tapi terlihat serasi dengan perawakan Vincent. Mengingat pakaian yang selama ini menutup bahu kekar dan dada bidangnya sudah sangat tidak layak untuk digunakan lagi. Elly duduk dipangkuan Vincent, dengan manja anak itu mengamati dan meraih liontin yang tergantung bersama kalung dileher Vincent. Elly menatap dalam liontin itu dan bertanya, “apa kau tau apa yang tertulis dikertas yang ada didalam benda ini?” Ia terus membolak-balik liontin yang berisi cairan berwarna ungu itu. “entahlah, aku juga tak pernah tau, ini hanya pemberian Ayah angkatku sewaktu aku pergi”, jawab Vincent sambil tersenyum sambil menggosok-gosok kepala anak kecil berambut merah itu. Ivana mengambil Elly dari pangkuan Vincent, “Vincent akan segera mandi, bermainlah dihalaman depan dengan Boo dan Bii” kata Iva kepada adik sepupunya, Boo dan Bii adalah dua ekor babi putih peliharaan mereka.
Sementara sebelum mandi, Vincent juga teringat akan liontin yang diberikan Will kepadanya itu, perlahan dilepaskannya kalung itu melewati kepalanya, satu persatu rambutnya yang mulai panjang tersangkut dirantai perak itu sehingga dengan susah payah ia harus melepaskannya satu-satu. Kembali Vincent duduk ditepi pancuran, dan sangat teliti mengamati bagian dalam dari liontin itu. Air pancuran itu sangat jernih, tak ada yang tahu dari mana air yang tak pernah susut apalagi mengering itu datangnya walaupun musim kering telah melanda beberapa bulan. Telah hampir satu jam, Vincent belum juga kembali dari pancuran dan tentu saja itu menjadi pertanyaan besar Ivana yang sedari tadi sudah duduk dan menunggu dimeja makan bersama ibunya dan Elly. Spageti yang tadinya mengeluarkan asap cukup banyak sudah berangsur berkurang asapnya. Ivana berdiri dan mencoba menghampiri Vincent yang membuat acara makan siang mereka terlambat. Beberapa langkah saja Ivana berjalan, dari kejauahan sudah tampak Vincent berjalan kearahnya disamping ilalang tinggi dan hamparan perkebunan luas yang berdinding sebuah bukit bersalju abadi yang samar hampir tak terlihat dari sana.
Vincent terlihat berjalan terpogoh-pogoh karena pandangan matanya memang tak sepenuhnya menghadap kejalan itu, pikirannya masih menerawang dan sesekali kembali memperhatikan liontin yang memang terlihat aneh bergantung dileher gelapnya. Akibat menginjak sebuah batu, Vincent terjatuh dan menimpa sebuah bekas potongan kayu yang sudah beberapa minggu tumbang akibat angin kencang. Liontin yang berada tepat didepannya itu pecah dan menumpahkan seluruh isinya. Pecahan-pecahan kaca tipis sebagai wadah dari cairan ungu tadi melukai dada dan leher dari Vincent, Iva yang melihat kejadian iu segera bergegas dengan langkah besarnya setengah berlari ke arah Vincent. Sesampai disana, Ivana hanya terdiam yang melihat Vincent mengembangkan sebuah gambar yang hampir sejengkal orang dewasa itu. Dahi Vincent terlihat semakin berkerut memandangi dan membolak-balik bagian depan dari bagian kulit sapi yang digores dengan menggunakan tinta hitam itu. Gadis itu berhenti dan tak mendekat lagi, mereka berjarak hampir sepuluh meter karena mungkin Iva tak mau mencampuri privasi Vincent.
Iva memutar tubuhnya dan melangkah pelan kembali ke rumahnya, namun Vincent yang melihat hal itu mencoba menghentikan langkah Ivana dengan memanggilnya, “Ivana, maaf jika membuat Allyana dan anda harus menunggu lama”. Iva pun berhenti tapi tidak menolehkan kepalanya kebelakang, dan menjawab “tak apa-apa, makan sing sudah siap dan segeralah datang ke meja makan”. Vincent pun mengikuti langkah kaki Ivana menuju rumah. Tak banyak hal yang Vincent ataupun yang Iva lakukan sehari itu, terlihat Vincent lebih banyak menyendiri dan berpikir menerawang jauh. Sebuah gambar yang bertuliskan nama-nama yang berbentuk seperti sebuah ranting-ranting kayu yang semakin kebawah semakin banyakemakin banyak. Dibagian atasnya tertulis sangaat besar “The Prince Of Wallace”. Satu persatu nama-nama itu memang terdengar dan terlihat asing olehnya, sampai penelusurannya dikertas itu terhenti oleh sebuah nama…….William Wallace, dan nama terakhir Ellena Wallace.
Siang itu sangat terik, Vincent yang datang membawa sekaleng madu dari hutan berusaha melepaskan penatnya seraya memberikan madu tersebut kepada Ivana. Elly mendatangi Vincent dengan membawa segelas air putih, agaknya gelas dari kayu itu terlalu besar untuk ukuran tangannya yang membuat elly kesusahan dalam berjalan. Vincent segera bangkit dan mengambil air tersebut dari tangan elly. Sambil tersenyum Vincent berkata, “terima kasih tuan putri”. Setelah duduk dan di ikuti Elly yang ikut duduk disebelahnya hanya diam dengan wajah lugunya. “kenapa seluruh tubuhmu basah Vincent?”, tanya Elly yang terus memperhatikan Vincent meneguk air putih tersebut.
Vincent meletakkan gelas kayu tersebut tak jauh dari duduknya dan berkata, “sehabis bekerja keras kau pasti akan berkeringat, bukankah sehabis berlari seluruh tubuhmu akan merasakan panas dan berkeringat? “tapi kan kau laki-laki?”, Elly memang belum mengerti akan hal itu dan terus menanyai Vincent untuk menemukan jawaban yang ingin ditanyakannya tersebut. Vincent pun tersenyum, namun belum sempat ia berujar dari dalam muncul Ivana dengan membawa handuk dan perbekalan mandi dalam sebuah ember kayu. Sambil memberikannya kepada Vincent, Iva mengusap lembut rambut Elly, dan berkata “laki-laki dan perempuan sama saja anak manis, keringat adalah hasil dari pembakaran lemak energi yang terjadi dalam tubuh kita. Nanti kau juga akan mengerti akan banyak hal di sekolahmu”.
Vincent membuka bajunya, baju yang kemaren diberikan Ivana kepadanya adalah milik Aitor yang sudah sangat using tapi terlihat serasi dengan perawakan Vincent. Mengingat pakaian yang selama ini menutup bahu kekar dan dada bidangnya sudah sangat tidak layak untuk digunakan lagi. Elly duduk dipangkuan Vincent, dengan manja anak itu mengamati dan meraih liontin yang tergantung bersama kalung dileher Vincent. Elly menatap dalam liontin itu dan bertanya, “apa kau tau apa yang tertulis dikertas yang ada didalam benda ini?” Ia terus membolak-balik liontin yang berisi cairan berwarna ungu itu. “entahlah, aku juga tak pernah tau, ini hanya pemberian Ayah angkatku sewaktu aku pergi”, jawab Vincent sambil tersenyum sambil menggosok-gosok kepala anak kecil berambut merah itu. Ivana mengambil Elly dari pangkuan Vincent, “Vincent akan segera mandi, bermainlah dihalaman depan dengan Boo dan Bii” kata Iva kepada adik sepupunya, Boo dan Bii adalah dua ekor babi putih peliharaan mereka.
Sementara sebelum mandi, Vincent juga teringat akan liontin yang diberikan Will kepadanya itu, perlahan dilepaskannya kalung itu melewati kepalanya, satu persatu rambutnya yang mulai panjang tersangkut dirantai perak itu sehingga dengan susah payah ia harus melepaskannya satu-satu. Kembali Vincent duduk ditepi pancuran, dan sangat teliti mengamati bagian dalam dari liontin itu. Air pancuran itu sangat jernih, tak ada yang tahu dari mana air yang tak pernah susut apalagi mengering itu datangnya walaupun musim kering telah melanda beberapa bulan. Telah hampir satu jam, Vincent belum juga kembali dari pancuran dan tentu saja itu menjadi pertanyaan besar Ivana yang sedari tadi sudah duduk dan menunggu dimeja makan bersama ibunya dan Elly. Spageti yang tadinya mengeluarkan asap cukup banyak sudah berangsur berkurang asapnya. Ivana berdiri dan mencoba menghampiri Vincent yang membuat acara makan siang mereka terlambat. Beberapa langkah saja Ivana berjalan, dari kejauahan sudah tampak Vincent berjalan kearahnya disamping ilalang tinggi dan hamparan perkebunan luas yang berdinding sebuah bukit bersalju abadi yang samar hampir tak terlihat dari sana.
Vincent terlihat berjalan terpogoh-pogoh karena pandangan matanya memang tak sepenuhnya menghadap kejalan itu, pikirannya masih menerawang dan sesekali kembali memperhatikan liontin yang memang terlihat aneh bergantung dileher gelapnya. Akibat menginjak sebuah batu, Vincent terjatuh dan menimpa sebuah bekas potongan kayu yang sudah beberapa minggu tumbang akibat angin kencang. Liontin yang berada tepat didepannya itu pecah dan menumpahkan seluruh isinya. Pecahan-pecahan kaca tipis sebagai wadah dari cairan ungu tadi melukai dada dan leher dari Vincent, Iva yang melihat kejadian iu segera bergegas dengan langkah besarnya setengah berlari ke arah Vincent. Sesampai disana, Ivana hanya terdiam yang melihat Vincent mengembangkan sebuah gambar yang hampir sejengkal orang dewasa itu. Dahi Vincent terlihat semakin berkerut memandangi dan membolak-balik bagian depan dari bagian kulit sapi yang digores dengan menggunakan tinta hitam itu. Gadis itu berhenti dan tak mendekat lagi, mereka berjarak hampir sepuluh meter karena mungkin Iva tak mau mencampuri privasi Vincent.
Iva memutar tubuhnya dan melangkah pelan kembali ke rumahnya, namun Vincent yang melihat hal itu mencoba menghentikan langkah Ivana dengan memanggilnya, “Ivana, maaf jika membuat Allyana dan anda harus menunggu lama”. Iva pun berhenti tapi tidak menolehkan kepalanya kebelakang, dan menjawab “tak apa-apa, makan sing sudah siap dan segeralah datang ke meja makan”. Vincent pun mengikuti langkah kaki Ivana menuju rumah. Tak banyak hal yang Vincent ataupun yang Iva lakukan sehari itu, terlihat Vincent lebih banyak menyendiri dan berpikir menerawang jauh. Sebuah gambar yang bertuliskan nama-nama yang berbentuk seperti sebuah ranting-ranting kayu yang semakin kebawah semakin banyakemakin banyak. Dibagian atasnya tertulis sangaat besar “The Prince Of Wallace”. Satu persatu nama-nama itu memang terdengar dan terlihat asing olehnya, sampai penelusurannya dikertas itu terhenti oleh sebuah nama…….William Wallace, dan nama terakhir Ellena Wallace.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar