Find This Blog

Translate

Follower's

Jumat, 30 November 2012

IV. Aitor dan sejuta harapan



Jalan utama yang menghubungkan kediaman Moratti menuju pusat kota memang cukup bersih dan tertata, namun dipinggiran jalan ditumbuhi rumput dan ilalang yang sangat tinggi serta melewati beberapa hutan yang cukup lebat. Jalan itu tak pernah dilewati siapapun dengan berjalan kaki karena jaraknya yang memang sangat jauh, butuh perjalanan lebih dari satu jam dengan menggunakan kereta kuda untuk sampai dikediaman keluarga Moratti. Iva berjalan semakin lambat akibat kelelahan dengan Elly juga sudah terlelap dan tersandar lemah dibahunya. Tak ada kereta kuda yang lewat, karena jalan itu hanya menuju satu-satunya tempat yaitu kediaman Moratti dan tak ada rumah-rumah penduduk disekitarnya.

Setetes demi setetes keringat yang mengucur dibawah teriknya mentari bercampur dengan air mata yang semakin lama semakin tak tertahankan. Namun suara hentakan kaki kuda dari sebuah kereta kuda dari arah belakang membuat Iva terpaksa menghapus air mata yang menggenang dipipinya, bulu mata yang jatuh namun tersegarkan hingga warna gelap disekitar bola matanya tak mampu menyembunyikan bahwa Iva telah mengeluarkan banyak air mata. Kereta kuda itu berhenti tepat di samping Iva yang juga menghentikan langkah pelannya menelusuri jalan itu. Terlihat Edward tersenyum kepadanya sambil melepaskan topi hitam dikepalanya. “naaf Nona, sebaiknya anda saya antar pulang” ujar sang sais kereta dengan nada sopan. “Teman anda sudah menunggu didalam” timpal Edward. Belum sempat Ivana berkata, muncul Vincent dari balik pintu kereta dan tersenyum kepadanya. “maafkan saya Nona, karena keberadaan saya membuat anda harus telat untuk sampai dirumah” suara Vincent lirih.

Walau Vincent tersenyum, namun Iva sangat yakin bahwa Ia masih dapat membaca situasi dimana Vincent masih mencoba meredam rasa perih dan sakit akibat insiden tadi. Iva sangat cepat menangkap secuil bias dimata Vincent yang membuatnya merasa bersalah meninggalkan Vincent sendirian di kediaman keluarga moratti yang merupakan tempat baru dan asing bagi pendatang baru itu. Ivana menundukkan kepalanya, “saya yang harus meminta maaf kepada anda, karena meninggalkan anda sendirian Tuan” terdengar suara pelan Iva. “disana saya tidak sendirian Nona, Anda tidak salah apa-apa dan tak ada yang perlu saya maafkan” ucap Vincent dengan nada sangat sopan. “biar saya yang menggendong Elly, anda sudah sangat kelelahan” lanjut Vincent. Vincent mengambil Elly yang sedang lelap dalam tidurnya setelah turun dari kereta. Dan mempersilakan Iva untuk naik terlebih dahulu.

Akhirnya mereka melanjutkan perjalanan kerumah Ivana setelah Vincent meminta kepada Edward. Kereta kuda itu melaju dengan sangat lembut, langkah dan hentakan kaki kuda-kuda itu juga terdengar halus menandakan sangat terlatihnya kuda-kuda itu dalam menarik kereta tersebut. Tak terasa mereka sudah sampai dipersimpangan jalan besar dipinggiran kota Venezia. Setelah sampai di kediaman keluarganya Ivana juga meminta Vincent untuk tinggal bersama mereka sampai kondisinya membaik. Vincent yang saat itu masih belum seratus persen pulih, mengucapkan terima kasih dan salamnya untuk Keluarga Moratti kepada Edward yang diperjalanan mengejar Ivana tadi sudah bercerita panjang kepadanya bahwa Edward berasal dari kerajaan Inggris yang kehilangan seluruh anggota keluarganya. Edward juga bercerita tentang siapa Aitor dan Ellena kepada Vincent. Aitor saat ini masih dipekerjakan sebagai penjaga kuda disebuah Istal milik keluarga Moratti di Florence, sebenarnya juga sangat lama ingin kembali ke Venice dimana keluarganya telah lama menunggu kepulangannya.

Namun Aitor bukanlah tanpa alasan, Ia dan Ferdinand Moratti yang saat itu bertugas dipangkalan udara Amerika Serikat Pearl Harbour di Hawaii, diserang ribuan pesawat Jepang di awal 1945 harus terluka parah sampai mengalami kerusakan sebagian besar wajahnya dan kakinya. Sedangkan Moratti hanya mengalami luka patah tulang lengan dan harus kehilangan tiga jari tangan kanannya. Hal itulah yang setiap saat membuat Aitor sangat terpukul dan trauma yang mendalam sehingga niatnya untuk kembali harus Ia kubur dalam-dalam. Walaupun sebagian besar wajahnya sudah dioperasi, namun tak akan ada yang mengenalinya dan akan terasa sangat asing jika Ia harus kembali berkumpul bersama Allyana. Perasaannya yang terpukul juga memikirkan bagaimana anak-anak mereka akan dapat menerima Ayah yang menurutnya sudah sangat berbeda. Sampai saat ini pun Aitor belum mengetahui bahwa anaknya, William telah meninggal dunia karena Kholera, namun Ia pasti tak akan pernah tau dan terpikir bagaimana Ivana tumbuh dewasa menjadi seorang gadis pintar dan berpendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar