Find This Blog

Translate

Follower's

Jumat, 30 November 2012

III. Kediaman Keluarga Moratti

Kereta kuda itu memasuki sebuah gate besar dan menelusuri pekarangan luas yang didalamnya terdapat sebuah kolam besar dimana bermain angsa-angsa putih dan hitam di antara teratai-teratai yang tampak berbunga, airnya mengkristal sangat jernih memantulkan setiap detail permukaan langit dan bumi dari setiap sudut pandangnya. Disepanjang jalan berdiri pohon pinus yang sejajar dengan jalan menuju kediaman keluarga Moratti, terkesan sebagai sebuah istana yang membuat gugup setiap mata yang melihat halamannya yang sangat luas. Kereta berhenti dengan sangat lembut, tak terasa pintu kereta sudah terbuka.

Ellena menyingkapkan tirai emas kereta kuda itu, menandakan bahwa mereka telah sampai namun terlihat Vincent masih belum sadarkan diri dari pingsannya. “panggil Alex dan Eddy”, kata tuan Federico kepada Edward yang sejak tadi berdiri di muka pintu kereta. “baik tuan muda”, lalu Edward berbalik dan melangkah cepat. Iva yang memangku Elly masih duduk berdiam diri,. kepala Vincent yang bersandar dipaha Federico masih sedikit mengeluarkan darah meski terlihat sudah membeku hingga jas mewah yang Federico gunakan terlihat sedikit kusut.

Dari koridor panjang di depan mereka, muncullah Edward dan di ikuti 2 orang berbadan besar dan mengenakan jubah perpaduan warna merah dan hitam, sekilas terlihat seperti seorang rahib atau para pendeta di Vatikan. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat indah, koridor yang terlindung panas itu dihiasi dengan ukiran-ukiran melingkar bertemakan binatang dan tumbuhan-tumbuhan yang seolah-olah merambat dan hidup di sepanjang koridor itu.

Elly yang sama sekali tidak mengerti akan seluk beluk sebuah hunian pun tak luput berdecak kagum, karena tak pernah ia melihat yang seperti itu sebelumnya. Dua orang tadi ikut membantu Edward mengangkat Vincent menuju kearah yang berlawanan dengan koridor tadi, diikuti langkah kaki Federico. Sedangkan Ellena mengajak Iva sambil memegangi tangan Elly berjalan beriringan. Matahari mulai memancarkan cahaya cerah agak kekuningan, menandakan sore telah menanti, sementara kepala Elly masih memandang koridor berukir tadi walaupun langkah kakinya terlalu besar mengikuti Ellena sampai-sampai Elly tersandung berkali-kali oleh bebatuan dijalanan yang mereka lewati. Akhirnya sebuah teras besar menanti mereka, beranda yang dikelilingi tanaman sejenis lily beraneka macam warna.

Pintu berwarna Emas sangat besar untuk ukuran lima sampai enam orang yang melewatinya, dipinggir-pinggirnya dipadu dengan gorden berwarna putih. Setelah sampai di ruang tengah yang terlihat sangat besar dengan berbagai ornamen-ornamen mewah perpaduan nuansa klasik dan modern, membuat Elly dan Iva terkesima. Mereka baru berhenti mengagumi keindahan ruangan tersebut setelah Ellena mempersilakan mereka untuk duduk. Sementara itu Vincent masih belum sadarkan diri, Ellena dengan sangat cekatan mengeluarkan obat-obatan dari kotak putih berukuran sebesar tas tangan. Perban, kapas, obat merah, dan air panas dalam sebuah panci kecil. Sambil membersihkan luka memar dan noda darah di bibir Vincent, Ellena mengatakan bahwa Ia adalah seorang lulusan sekolah perawat kesehatan di Inggris walaupun belum pernah bekerja. Setelah selesai, perlengkapan itu dimasukkan kembali ke dalam kotak putih tersebut, lalu datang pengawal yang menggunakan jubah merah hitam tadi sambil membawa sebuah nampan berwarna emas dengan ukiran-ukiran klasik kerajaan di pinggirnya, di atasnya sebuah teko yang juga berwarna emas dan sebuah piring kecil berisi aneka kue-kue sementara di tangan nya empat buah gelas yang di jepit di antara jari-jari tangan kirinya.

Pengawal tersebut pergi sambil membungkukkan kepala, lalu menghilang di balik ujung ruang tamu tersebut. Di tengah-tengah dinding sebelah barat terdapat sebuah lemari besar seperti etalase berisi piala-piala yang kata Danielle merupakan prestasi nya sebagai atlet berkuda sewaktu berkuliah di sebuah Universitas di Berlin, Jerman Barat. Di sebelah timur terdapat pintu besar dengan jendela-jendela klasik yang di bingkai dengan gorden berwarna putih sehingga sangat serasi dengan kuzen jendela dan pintunya yang berwarna emas, terhubung dengan sebuah beranda besar yang menghadap matahari terbit, Tak lama berselang terdengar rintih dari Vincent yang mulai mencoba membuka kelopak matanya yang mungkin sudah sekitar satu setengah jam terlelap akibat benturan dan pukulan tadi. Dengan di bantu Danielle, Vincent mencoba mengangkat kepalanya, Vincent sedikit merasa pusing dan perih di ujung bibir bawahnya yang tadi mengeluarkan darah. “Anda sekarang berada di rumah saya, maaf atas kejadian tadi”, kata Danielle membuka pembicaraan. Namun mungkin saja Vincent belum mau mengucapkan sepatah katapun atau ia memang belum terlalu nanar akibat hantaman di kepalanya. “Anda istirahat saja di sini dahulu, kamar untuk anda sedang kami siapkan” lanjut Danielle. Dengan suara pelan Iva mencoba membuka suara, “maaf tuan, kalau tidak keberatan saya mohon diri terlebih dahulu, besok pagi-pagi saya akan datang kembali melihat keadaan Vincent”.

“sudah terlalu sore saat ini, mungkin keluarga saya sudah cemas akan keberadaan Elly” lanjut Ivana. “Baiklah, tapi Ellena sedang menyiapkan makanan untuk kita dan nanti saya akan suruh Edward untuk mengantar anda sampai ke rumah” jawab Danielle sambil tersenyum ramah.

Benar saja, tak lama berselang Ellena datang dan mengajak kami ke ruang makan kediaman keluarga Moratti itu, lalu Ellena mendatangi Danielle dan Vincent yang berbaring berhadapan dengan Iva,
 “Bagaimana kondisi anda sekarang tuan?” tanya Ellena pada Vincent dengan suara lembut dan tersenyum. Lalu menuangkan teh ke gelas yang ada di meja tamu yang mungki besarnya sebesar kamar di rumah Iva.

“Saya tidak apa-apa nona, maaf jika saya merepotkan anda”, jawab Vincent dan kembali mencoba untuk duduk. “mungkin ada baiknya jika saya juga harus pamit tuan, karena saya harus menemui seseorang” lanjut Vincent sambil menundukkan kepalanya kearah Danielle.

Setelah menghela nafas dalam, Danielle menatap Iva dan memulai pembicaraan, “tadi anda berkata bahwa anda bernama belakang Petterson, nona?”. Dan menatap Ivana yang hanya mengangguk pelan mendengar pertanyaan itu. “Kami punya seorang perawat kuda pacuan di Florence, orangnya sangat baik bernama Aitor. Kami sudah menganggap beliau sebagai keluarga sendiri karena beliau adalah orang yang menyelamatkan nyawa Ayah saya saat perang baru pecah.

 Mendengar nama Ayahnya di sebutkan oleh Danielle, Ivana menggigil, air matanya jatuh entah itu perasaan senang atau sedih karena ia sendiri tak tau bagaimana mengekspresikan perasaannya saat ini, semua yang ada dalam ruangan itu terdiam, tak mampu berkata apapun saat itu. Air mata Iva perlahan sudah menggenang di cekungan bola mata biru itu, jarinya coba menangkap satu-persatu tetesan yang mengalir deras di pipinya.

Iva mencoba bicara, “saya harus pulang, maaf saya. Aitor adalah nama Ayah saya, keluarga kami sudah lama kehilangan dan ia tak pernah kembali sejak pergi ke medan perang saat saya masih berusia 6 tahun. Jadi mungkin saya sudah sangat lupa bagaimana saya mempunyai seorang Ayah dan saya seperti kehilangan sesuatu yang tak pernah saya miliki”. Iva melangkah sambil memegang tangan Elly dan bergegas tanpa mampu di tahan siapapun yang ada dalam ruangan itu, karena mereka hanya bias diam seribu bahasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar