Find This Blog

Translate

Follower's

Jumat, 30 November 2012

II. Ivana dan Insiden dengan Bangsawan.

Kembali ke pelataran taman kota, Vincent merebahkan diri di bangku panjang putih yang mungkin dapat di tempati lima sampai enam orang itu. Tapi siang itu hanya beberapa orang saja yang lalu lalang, hanya dia saja yang menempati bangku itu, hingga ia mencoba memejamkan mata namun kembali tersentak oleh anak-anak yang berlari dan bersorak tak jauh dari tempatnya berbaring. Mata itu kembali terbuka dan memandang langit biru yang cerah hanya beberapa awan-awan tipis tak mampu menutupi permukaan langit. Seorang anak perempuan kecil berlari kearahnya, mungkin usianya baru tiga tahunan mengenakan baju terusan berwarna merah dan memegang pita merah yang terlepas dari rambutnya itu.

Anak itu memberikan pita itu dan menunjuk-nunjuk rambutnya seolah meminta Vincent memasangkan pita itu kembali. Namun apa yang dapat Vincent lakukan, ia bukan orang berpendidikan yang tau cara berpakaian atau sekedar memasang pita rambut. Ia tak pernah mengenal anak kecil dalam hidupnya, sembari tersenyum Vincent memberikan kembali pita itu dan mengambil satu buah tomat yang ada dalam kantong plastik ditangannya dan ikut diberikan kepada anak perempuan kecil itu. Dari kejauhan tampak seorang perempuan muda memanggil anak perempuan tadi dengan panggilan Elly, dan dengan ramah meminta maaf kepada Vincent perihal anak perempuan itu. Lalu ikut duduk di samping Vincent dan mengambil pita merah ditangan Elly lalu mengikatkan di rambut ikal sebahu milik anak perempuan itu.

Vincent mencoba menggerakkan lidahnya untuk berbicara sesuatu, tapi ia tak tau harus memulainya dari mana karena tak sekalipun ia pernah berbicara dengan seorang perempuan selain Allice, seorang perawat perang di Vietnam namun hanya berbicara sebatas luka salah seorang rekannya yang tertembak ketika itu. Namun perempuan yang mengenakkan gaun itu menoleh kearahnya dan mulai berbicara, “terima kasih atas pemberian anda Tuan, perkenalkan saya Ivana Petterson” ucapnya sambil tersenyum. Vincent tersentak dan kebingungan, haruskah ia mengulurkan tangannya memperkenalkan diri atau hanya diam dan menyebutkan nama saja.

 “maaf, memang tak seharusnya saya yang memulai memperkenalkan diri tapi saya tau anda orang baik. Dan saya lihat anda bukan orang sini” lanjut Ivana sembari memangku Elly yang sibuk dengan tomat ditangannya. Sambil terbata, Vincent mulai berbicara halus, sangat halus dan lembut tutur katanya. “maaf nyonya, nama saya Vincent Wallace dari Irlandia, saya seorang pandai besi” jawab Vincent sambil menundukkan kepalanya.

Ivana tersenyum dan berkata, “Iva, itu panggilan saya dan saya belum menikah mungkin anda bersedia untuk tidak memanggil saya dengan sebutan nyonya lagi karena Elly adalah adik sepupu saya”. “eh, maaf saya tak bermaksud begitu”, lanjut Vincent dan kembali menundukkan pandangannya.

“saya kira Elly adalah putri anda, maaf saya benar-benar tak bermaksud merendahkan anda”, dengan muka yang tertunduk serba salah. “lupakan itu, mampirlah dirumah kami”, lanjutnya “keluarga kami akan sangat senang kedatangan tamu dan rumah kami hanya beberapa menit perjalanan kearah timur”. Vincent semakin kebingungan mengingat ia adalah pendatang baru dan perawakannya mungkin terlihat sebagai perampok dari pada orang-orang terhormat dipinggiran grande yang mengenakan jubah dan topi tinggi dan menggunakan kereta kuda sebagai alat transportasi pribadinya.

Dalam pikirannya berkecamuk tanda Tanya, apa yang harus ia lakukan dan yang mesti ia perbuat karena itu pertama kalinya ia berbicara dengan seorang wanita itupun baru ia temui. Telihat Ivana sebagai pribadi yang ramah dan baik, berpendidikan dan cara berjalannya yang menunjukkan bahwa ia bukan orang dari kalangan biasa tak luput dari pandangan mata Vincent ketika Iva datang tadi. Perempuan itu putih, bola matanya biru, berambut ikal coklat terang dan panjang, memakai gaun panjang abu-abu kotak-kotak coklat dengan sejenis konde dibagian belakang rambutnya. Beberapa helai rambut ikal dibiarkan jatuh dibagian depan mungkin sebangsa poni memperlihatkan karakter etnik Venice yang sangat tampan dan cantik dengan mata birunya.

Vincent kembali bertanya, “apakah tidak memberatkan anda dan keluarga?”.

 Lalu Iva bangkit dan berdiri memegang tangan Elly disebelahnya dan berkata, “tak akan ada yang merasa diberatkan, kami akan menjamu anda sebaik mungkin tuan Wallace” jawab Iva dan tersenyum.

Dan Vincent pun ikut membalas senyum Iva, dan mulai mengikuti Iva dari belakang, Langkah kaki Iva diperhatikannya karena ia tak berani memandang orang lain secara langsung. Melewati jembatan melengkung dari batu bata yang terlihat kokoh itu, Vincent kembali terkesima melihat peradaban yang baru dilihatnya. Ada banyak hal-hal yang asing dipandangan matanya, ditambah aliran tenang air canale grande yang berkilau memantulkan bayangan matahari yang seolah-olah memperlihatkan bahwa Venice memiliki dua buah matahari serta bayangan bangunan-bangunan yang seakan menunduk dan bergelombang di atas permukaan air setelah dilewati sebuah perahu bermotor yang melaju cepat kearah selatan. Dari kejauhan lewat sebuah kereta kuda yang berbeda dengan sekian banyak kereta kuda yang lalu lalang setiap harinya di jalanan kota Venezia, ditarik kuda putih yang sangat besar dengan kaki-kaki kekar membawa kereta yang indah mungkin terbuat dari Oak*.

 Tirainya yang berwarna emas memberikan kesan hedonisme dari pemilik dari kereta itu, ukiran-ukiran klasik yang juga bertatakan emas khas kebangsawanan tertata rapi dan sangat kontras dengan kereta yang di labur hitam. Pejalan kaki yang memadati jalan tersebut melangkah memberi jalan dan seraya menundukkan kepala mereka sejajar dengan bahu, kereta melaju kearah timur demikian juga hal nya Vincent sehingga Ia tak melihat bahwa salah satu kuda yang menarik kereta itu nyaris saja menyenggolnya dan membuat kuda yang lain ikut panik. Terdengar teriakan histeris dari dalam kereta tersebut, lalu beberapa buah koin berserakan dari atas kereta itu, tak lain adalah koin milik bangsawan itu.

Dengan sigap Vincent melompat dan menangkap kuda-kuda yang liar karena terkejut tersebut dan menenangkannya, Vincent sangat mengenal cara menjinakkan kuda karena kebanyakan kuda-kuda liar dan baru di daratan inggris raya selalu memesan ladam atau sepatu kuda pada orang tua angkatnya. Vincent selalu mendapat bagian memasang sepatu itu meski usianya kala itu masih belasan tahun sehingga sangat terlihat janggal dengan postur kuda-kuda kerajaan yang sangat besar-besar. Vncent juga mengumpulkan koin-koin yang berserakan di sekitaran jalanan itu, amun terdengar teriakan dari salah seorang pejalan kaki, “pencuri…..” membuat riuh seluruh pejalan kaki dan pemilik dari kereta tersebut.

Para pejalan kaki berlari ke arah Vincent dan beramai-ramai hendak memukulnya, Iva yang juga ikut ketakutan hanya mencoba memeluk Elly dan menutup mata anak perempuan kecil itu. Sebuah bogem mentah mendarat di wajah Vincent yang masih kebingungan dengan semua yang tengah terjadi saat itu, namun Ia masih sempat menangkis pukulan dan terjangan kaki berikutnya yang mengarah kepadanya. Lalu dari dalam kereta kuda tersebut, tersingkap tirai yang menutup pintu kereta tersebut dan keluarlah seorang laki-laki tampan mengenakan jas berwarna krem terang dan sangat berbeda dengan penduduk asli yang menggunakan jas berwarna gelap seperti coklat atau hitam. Dengan cepat pria itu melompat ketengah kerumunan dimana Vincent terkepung dan menerima pukulan-pukulan kencang yang membuat Ia terkapar tak berdaya.

Sang pria berteriak agar massa tersebut berhenti memukuli dan dengan teratur sambil membungkukkan badan para pejalan kaki tadi yang pada umumnya berbadan besar dan kekar sambil berkata “Tuan muda” dengan suara lembut nyaris tak terdengar. Lalu pria itu mengangkat kepala Vincent dan mengelap darah segar yang mengucur dari mulut Vincent. Dari dalam kereta keluar seorang wanita muda yang cantik, sangat serasi dengan gaun berwarna putih yang di padu dengan pita dan aksesoris berwarna pink sambil membawa sebuah kain lap dan teko yang berisi air minum, dan lalu diserahkannya kepada sang pria yang tadinya di panggil tuan muda. Iva yang tadi hanya dapat memeluk Elly, sekarang mulai mendekat.

Menundukkan kepala seperti hal yang juga dilakukan orang-orang yang tadi memukul Vincent dan berkata “Maafkan saya tuan, Pemuda itu bersama kami dan dia bukan pencuri” ujarnya masih dalam keadaan menunduk, lalu mengangkat kepalanya dan melanjutkan pembicaraan setelah Sang Pria tadi menoleh kearahnya, “kalau tuan tidak keberatan biar saya yang mengurus lukanya” lanjut Iva. Namun raut heran dari semua orang yang ada di sekitar tempat kejadian juga tak kalah dari raut wajah Iva yang sampai membuka sedikit bibirnya, setelah melihat sang pemuda kaya itu tersenyum dan berkata “Saya sudah tau, dan sebagai permintaan maaf saya biarkan kami membawanya kekediaman kami dan akan sangat membantu jika anda bersedia ikut nona……”.

 “Iva, Ivana Petterson”, spontan Iva menjawab tanpa di minta. Lalu sang bangsawan mengangkat tubuh Vincent dibantu sais yang semula masih takut-takut untuk turun tangan.

“Siapa?anda menyebut Petterson?” lanjut sang bangsawan. Iva yang semakin Heran atas reaksi dari bangsawan tersebut.

Memang tak banyak di daerah Venice yang menggunakan nama belakang itu, karena orang tua laki-laki Iva yang juga berhak menggunakan nama Petterson berasal dari selatan, Pescara daerah pantai yang langsung menghadap ke selat Gibraltark.

“Edward akan mengantarkan anda pulang nanti” kata bangsawan itu mengatakan bahwa sais kereta kuda yang bekerja untuknya membuat Iva semakin penasaran. Lalu kereta melaju kearah timur dengan kencang, sang wanita yang datang bersama bangsawan itu menuangkan teh kedalam cangkir emas yang tadi berada di bofet mini yang ada di belakang tempat duduk mereka.

 “minumlah nona, teh hijau orang timur dipercaya menyehatkan badan”, kata sang wanita dan tersenyum dengan sangat cantik dan ramah itu sehingga membuat Iva jadi salah tingkah dan hanya berkata “terima kasih nyonya….” Dengan suara yang nyaris tremor dan mengambil cangkir yang terbuat dari emas tersebut.

“perkenalkan saya Ellena Daniella, sebenarnya lebih tepatnya nona karena kami baru akan menikah musim semi nanti” ujar Ellena. “panggil saja Ellena, saya dari Irlandia” lanjutnya. “Maaf Nona Ellena, saya tak bermaksud apa-apa”, terdengar suara Iva lembut. “Saya Danielle Moratti, mungkin anda pernah mendengar nama ayah saya Federico Moratti” ujar sang bangsawan sambil tersenyum. Seolah menandakan keramahan yang tak Iva lihat dari banyak bangsawan-bangsawan yang dikenalnya selama hidupnya di Venice. Sebuah pengalaman yang baru bagi Iva maupun Elly menaiki sebuah kereta kuda layaknya kereta kencana sebuah kerajaan yang hanya mampir dalam angan-angannya semenjak kecil. Ivana sejak kecil hanya tinggal bersama Ibunya dan 4 orang saudara laki-lakinya di bagian timur Venezia. Ibunya, Allyana adalah seorang penjahit pakaian dipinggiran kota harus berusaha keras menghidupi dan membesarkan anak-anaknya meski anak pertama Fredrich (Freddy) dan kedua Andrea, telah tinggal bersama istri-istri mereka meninggalkan Venice dan sampai sekarang menetap di kota Roma.


Sedang Anders, Willy yang masih teramat kecil apalagi Ivana, yang tidaklah sangat mengenal siapa ayahnya sejak Aitor mengikuti wajib militer pada awal 1930. Tak ada kabar sejak keberangkatan Aitor. Ia adalah seorang pengurus kuda-kuda para bangsawan yang sangat loyal terhadap pekerjaannya, hal itu membuat mereka sekeluarga harus merasakan pahitnya kehilangan orang yang mereka sayangi dan menjadi tulang punggung keluarga pada saat itu. Iva tumbuh besar dan dapat bersekolah disebuah sekolah elit karena ibunya adalah penjahit seragam-seragam sekolah tersebut sehingga Iva diberi keringanan oleh sang kepala sekolah.

Sungguh sebuah keberuntungan bagi keluarga mereka sebab anak perempuan satu-satunya itu dapat memperoleh pendidikan disekolah mahal yang mungkin hanya ada dalam angan-angan para orang tua yang kurang beruntung seperti keluarga Petterson. Willy, William Petterson yang merupakan anak keempat, meninggal ketika baru berusia 10 tahun juga akibat virus kolera yang berasal dari Afrika itu. Sejak itu Ivana kecil memutuskan untuk tak melanjutkan sekolahnya dan mengatakan akan menemani dan membantu ibunya yang semakin hari semakin tua. Tak banyak lagi pekerjaan rumah yang dapat Ibunya lakukan lagi, seperti mencuci dan memasak.

Karena Allyana memiliki masalah dengan paru-parunya, dulu Ia pernah melakukan operasi, Ayah Aitor, orang tua suaminya adalah seorang dokter perang yang cukup dikenal dari Pescara. Berbekal peralatan seadanya mertuanya itu berhasil memperbaiki system kerja paru-parunya dengan melapisi dinding paru-paru dengan menggunakan plastik. 2 dekade berlalu, Allyana kembali merasakan hal yang pernah Ia rasakan setelah 8 tahun hidup tanpa Aitor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar